Menyingkap Kabut tentang Soal PPH Pasal 23: Siapa yang Harus Bayar?

Posted on

Jika Anda adalah salah satu dari sekian banyak orang yang sering kali pusing ketika melihat istilah “PPH Pasal 23” muncul di dunia perpajakan, tak perlu khawatir! Kami hadir untuk membongkar kebingungan Anda dengan gaya santai ala jurnalistik.

Bertemu dengan PPH Pasal 23 di dalam dokumen perpajakan, seringkali membuat kepala kita pusing bukan main. Mengapa begitu banyak orang berdebat mengenai hal ini? Kenapa hal ini menjadi begitu penting? Dan yang paling penting, siapa yang sebenarnya harus membayar?

Jawabannya mungkin tidak selalu mudah, seperti mencari agen perjalanan yang bersedia memberikan tiket pesawat gratis. Namun, mari kita mencoba melihatnya dari sudut pandang yang lebih sederhana.

Secara umum, PPH Pasal 23 adalah salah satu bentuk pemotongan pajak penghasilan yang diberlakukan pada setiap pembayaran yang dilakukan oleh pihak perusahaan kepada pihak ketiga. Contohnya, kamu adalah pemilik perusahaan dan membayar gaji kepada karyawan atau melakukan pembayaran kepada pemasok barang/jasa tertentu.

Kamu mungkin berfikir, “Oh, jadi yang membayarnya adalah perusahaan dong?” Nah, jangan sampai salah paham. Biar kami terangkan lebih lanjut.

Secara teoritis, PPH Pasal 23 memang menjadi kewajiban perusahaan untuk mengurangi jumlah yang harus dibayarkannya kepada penerima pembayaran. Namun, dalam praktiknya, pihak perusahaan umumnya akan memberlakukan pemotongan ini kepada pihak ketiga yang mereka bayar. Artinya, perusahaan akan mengurangi jumlah pembayaran yang harus diberikan kepada penerima, bukan tambahan beban untuk perusahaan.

Sebenarnya, perbedaan ini memiliki pengaruh besar, terutama dalam hal manfaat pajak yang diperoleh oleh pihak penerima. Bagi penerima pembayaran yang bersifat pribadi, mereka akan menerima pembayaran dengan potongan PPH Pasal 23. Namun, bagi penerima yang memiliki status badan usaha, potongan tersebut bisa diakumulasi dan digunakan kembali saat mereka membayar pajak di akhir tahun. Jadi, dalam beberapa kasus, PPH Pasal 23 seakan menjadi saldo pajak yang dapat dikreditkan.

Tentu saja, ada aturan-aturan dan persyaratan tertentu yang harus dipatuhi perusahaan dan penerima pembayaran agar PPH Pasal 23 dapat diterapkan dengan benar. Dalam beberapa kasus, perusahaan perlu mengajukan permohonan kepada otoritas perpajakan agar mereka tidak dikenakan PPH Pasal 23. Jadi, jika kamu berada dalam posisi yang membingungkan, akan lebih baik untuk mengonsultasikan dengan ahlinya atau membaca panduan resmi perpajakan seputar PPH Pasal 23.

Demikian pengantar singkat tentang “perkara” PPH Pasal 23 yang mungkin sering membuat kepala kita bingung. Semoga penjelasan ini dapat membantu mengurai kebingungan dan memberikan pemahaman yang lebih santai tentang topik yang memusingkan ini.

Soal PPh Pasal 23: Pengertian dan Penjelasan Lengkap

PPh Pasal 23, singkatan dari Pajak Penghasilan Pasal 23, merupakan salah satu jenis pajak yang harus dipungut oleh pihak penghasil atau pihak yang melakukan pembayaran kepada pihak lain dalam bentuk penghasilan tertentu. PPh Pasal 23 diberlakukan untuk menghindari kesalahan atau kecenderungan tidak membayar pajak dari pihak yang menerima penghasilan tersebut.

Apa itu PPh Pasal 23?

Dalam sistem perpajakan di Indonesia, PPh Pasal 23 adalah bagian dari pajak penghasilan yang wajib dipungut oleh pihak yang membayarkan penghasilan tertentu kepada pihak lainnya. Penghasilan yang menjadi dasar pengenaan PPh Pasal 23 ini meliputi:

  • Penghasilan dari sewa bangunan, tanah, atau fasilitas lainnya
  • Penghasilan dari royalti
  • Penghasilan dari bunga deposito
  • Penghasilan dari hadiah atau penghargaan
  • Penghasilan dari pekerjaan bebas yang meliputi penghasilan profesional, penghasilan yang diperoleh dari pengetahuan dan keahlian pribadi, dan penghasilan dari kegiatan usaha yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

PPh Pasal 23 juga berlaku pada penghasilan yang diterima oleh pihak yang bukan wajib pajak, seperti badan usaha non-pajak atau individu non-pajak. Pihak yang melakukan pemotongan dan penyetoran PPh Pasal 23 ini disebut sebagai Pemotong Pajak, sedangkan pihak yang menerima penghasilan tersebut disebut sebagai Penerima Penghasilan.

Cara Pemotongan dan Perhitungan PPh Pasal 23

Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh Pemotong Pajak pada saat pembayaran penghasilan kepada Penerima Penghasilan. Cara perhitungan PPh Pasal 23 ini menggunakan persentase tarif pajak yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 36/PMK.03/2020 tentang Tarif Pajak Penghasilan Pasal 23.

Tarif pajak yang diterapkan untuk PPh Pasal 23 berbeda-beda tergantung pada jenis penghasilan yang diterima. Berikut adalah beberapa contoh tarif pajak PPh Pasal 23:

  • Untuk penghasilan sewa bangunan, tanah, atau fasilitas lainnya, tarif pajaknya adalah 15% dari jumlah bruto (sebelum dipotong biaya operasional seperti biaya listrik, air, kebersihan, dan sebagainya).
  • Untuk penghasilan royalti, tarif pajaknya adalah 15% dari jumlah bruto.
  • Untuk penghasilan bunga deposito, tarif pajaknya adalah 20% dari jumlah bruto.
  • Untuk penghasilan hadiah atau penghargaan, tarif pajaknya adalah 15% dari jumlah bruto.
  • Untuk penghasilan pekerjaan bebas, tarif pajaknya berkisar antara 4,5% hingga 30%, tergantung pada jenis pekerjaan dan besarnya penghasilan yang diterima.

Pemotong Pajak wajib menyetorkan PPh Pasal 23 yang telah dipotong melalui e-Faktur, dan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, yaitu paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya setelah tanggal pembayaran penghasilan.

FAQs

1. Apakah semua jenis penghasilan dikenakan PPh Pasal 23?

Tidak semua jenis penghasilan dikenakan PPh Pasal 23. PPh Pasal 23 hanya dikenakan pada penghasilan tertentu seperti sewa bangunan, royalti, bunga deposito, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan dari pekerjaan bebas.

2. Apakah badan usaha non-pajak juga wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23?

Ya, badan usaha non-pajak juga wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 23 saat membayarkan penghasilan tertentu kepada pihak lain.

3. Bagaimana jika Penerima Penghasilan tidak memiliki NPWP?

Jika Penerima Penghasilan tidak memiliki NPWP, maka pemotongan PPh Pasal 23 yang dilakukan oleh Pemotong Pajak akan menggunakan tarif pajak yang lebih tinggi sesuai peraturan yang berlaku.

Kesimpulan

PPh Pasal 23 adalah salah satu jenis pajak penghasilan yang dikenakan pada penghasilan tertentu seperti sewa bangunan, royalti, bunga deposito, hadiah atau penghargaan, dan penghasilan dari pekerjaan bebas. Pemotongan PPh Pasal 23 dilakukan oleh Pemotong Pajak pada saat pembayaran penghasilan kepada Penerima Penghasilan dengan menggunakan tarif pajak yang telah ditetapkan.

Penting bagi setiap pihak yang terlibat dalam transaksi penghasilan tertentu untuk memahami kewajiban dan prosedur PPh Pasal 23 guna memastikan kepatuhan perpajakan. Dengan mengikuti aturan yang berlaku, diharapkan dapat mendorong peningkatan kepatuhan perpajakan secara keseluruhan.

Jika Anda memiliki pertanyaan lebih lanjut mengenai PPh Pasal 23, silakan menghubungi Direktorat Jenderal Pajak atau mengunjungi situs resmi mereka untuk mendapatkan informasi terbaru.

Hava
Selamat datang di dunia kata-kata dan ilmu. Saya adalah guru yang menulis untuk menginspirasi dan berbagi pengetahuan. Ayo bersama-sama merenung dan mengeksplorasi dunia tulisan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *